Zakat Fitrah: Makanan Pokok atau Uang? Ini Penjelasan Lengkap Menurut Madzhab Fiqih

Zakat fitrah adalah ibadah yang diwajibkan kepada setiap Muslim di bulan Ramadhan sebagai penyucian jiwa dan sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap fakir miskin. Namun, seringkali muncul pertanyaan: apakah zakat fitrah harus diberikan dalam bentuk makanan pokok, atau boleh diganti dengan uang?

Hidayatul Muslimin

Ulama dari empat madzhab besar dalam Islam memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini. Berikut penjelasan lengkapnya :


🔹 Tiga Madzhab: Harus dalam Bentuk Makanan Pokok

Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali bersepakat bahwa zakat fitrah hanya sah jika ditunaikan dalam bentuk makanan pokok yang berlaku di daerah masing-masing, seperti beras, gandum, kurma, atau jagung.

Pendapat ini berdasarkan hadits shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar."
(HR. Bukhari no. 1503, Muslim no. 984)

🔎 Mengapa tidak boleh dengan uang?
Karena zakat fitrah termasuk ibadah mahdhah (murni ritual), maka bentuknya harus mengikuti ketetapan syariat (ta’abbudi) tanpa diganti dengan selain yang dicontohkan Rasulullah ﷺ.

📝 Takaran Zakat Fitrah menurut 3 Madzhab:

MadzhabUkuran 1 Sha’Bentuk ZakatCatatan
Maliki± 2,50-2,70 kgMakanan pokokTidak sah jika dengan uang
Syafi’i± 2,70-3,10 kgMakanan pokokTidak sah jika dengan uang
Hanbali± 2,75-3,25 kgMakanan pokokTidak sah jika dengan uang

⚠️ Kesimpulan: Jika mengikuti tiga madzhab ini, zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok langsung, bukan uang.


🔸 Madzhab Hanafi: Boleh Diganti dengan Uang

Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah membolehkan zakat fitrah diberikan dalam bentuk uang. Menurut mereka, tujuan zakat fitrah adalah untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin, dan uang bisa lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan itu.

Imam Abu Hanifah berkata:
“Dibolehkan mengeluarkan nilai (uang) sebagai ganti dari makanan pokok dalam zakat fitrah.”
(Al-Mabsuth, as-Sarakhsi, Juz 3 Halaman 107)

📌 Namun, nilai uang yang diberikan harus setara dengan 1 sha’ makanan pokok, bukan asal memberi sejumlah nominal kecil.


🔹 Penjelasan Mengenai Makanan Pokok dan Nilai 1 Sha’ dalam Kitab-kitab Hanafi
Dalam madzhab Hanafi, nilai zakat fitrah dihitung berdasarkan 1 sha’ makanan pokok yang berlaku di daerah setempat, yang biasanya berupa beras, gandum, kurma, atau kismis. Untuk memberikan pemahaman lebih lanjut, kita merujuk pada beberapa kitab terkenal dalam madzhab Hanafi:

1.    Mukhtasar Al-Quduri – karya Abu al-Husayn Ahmad ibn Muhammad al-Quduri dan Kitab Al-Hidayah – karya Burhanuddin Al-Marghinani

2 Kitab Fiqh besar Madzhab Hanafi yang menyebutkan begini “Setiap orang wajib mengeluarkan Zakat Fitrah berupa ½ sha’ dari gandum atau 1 sha’ dari kurma, kismis, atau makanan pokok lainnya”. Kata makanan pokok lainnya jelas menegaskan beras adalah makanan pokok yang diperbolehkan.

2.    Al-Mabsuth – karya Syekh Shams al-A’immah Abū Bakr Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Sahl al-Sarakhsi

Imam as-Sarakhsi menjelaskan bahwa zakat fitrah pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin, dan salah satu cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan memberikan makanan pokok atau uang yang setara dengan nilai makanan pokok tersebut. Beliau menyatakan bahwa zakat fitrah boleh dikeluarkan dalam bentuk uang selama nilainya setara dengan 1 sha’ makanan pokok (Al-Mabsuth, Juz 3 halaman 107). ada hal menarik tentang kitab ini, Kitab Al-Mabsuth ditulis oleh al-Sarakhsi dari dalam penjara, setelah ia ditahan oleh penguasa karena sikap kritisnya. Ia mendiktekan isi kitab tersebut kepada muridnya selama masa penahanan, dan hasilnya adalah salah satu karya fiqih Hanafi paling monumental sepanjang sejarah.

3.    Bada'i’ al-Sana’i – karya Syekh Ala’ al-Din Abu Bakr bin Mas‘ud al-Kasani al-Hanafi

Dalam kitab Bada’i’ al-Sana’i Juz 2 halaman 74, Al-Kasani menjelaskan bahwa 1 sha’ dalam konteks zakat fitrah adalah sekitar 3,8 kg makanan pokok. Meskipun begitu, jika seseorang ingin menunaikan zakat fitrah dengan uang, maka nilai uang tersebut harus disesuaikan dengan harga makanan pokok yang berlaku pada saat itu. Konsep ini memungkinkan fleksibilitas dalam penyaluran zakat fitrah, asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menariknya, kitab ini ditulis sebagai mahar pernikahan kepada istrinya, putri dari ulama besar Mazhab Hanafi lainnya, ‘Ala’ al-Din al-Samarqandi, yang juga penulis kitab Tuhfat al-Fuqaha’.

4.    Al-Bahr ar-Ra’iq – karya Ibnu Nujaym (Halaman 970) 

Menyebutkan standar mazhab Hanafi, 1 sha' itu = 1 rithl Baghdad senilai 3,81 Kg makanan pokok. Pendapat ini juga didukung oleh kitab Madzhab Hanafi lainnya seperti Kitab Radd al-Muhtar, dan Fathul Qadir. 

5.    Fiqh al-Islami wa Adillatuhu – karya Dr. Wahbah az-Zuhaili

Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuhu juga menekankan pentingnya kesetaraan antara makanan pokok dan nilai uang dalam zakat fitrah. Hal ini bertujuan agar zakat fitrah tetap bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin, meskipun bentuknya bukan berupa barang, melainkan uang yang memiliki nilai yang setara dengan 1 sha’ makanan pokok.


🔸 Takarannya dalam Kitab-kitab Hanafi
1 sha’ menurut madzhab Hanafi setara dengan ± 3,8 kg makanan pokok, dan ini merupakan ukuran yang diakui oleh para ulama Hanafi, termasuk dalam kitab-kitab yang telah disebutkan di atas.

🧮 Contoh Perhitungan
Jika harga beras per kg adalah Rp 13.000, maka zakat fitrah yang diberikan dalam bentuk uang setara dengan 1 sha' beras adalah:

3,8 kg x Rp 13.000 = Rp 49.400


🧾 Jadi, jika ingin menunaikan zakat fitrah dengan uang menurut madzhab Hanafi, minimal yang dibayarkan adalah Rp 49.400 per jiwa (atau disesuaikan dengan harga lokal makanan pokok).


Ringkasan Pendapat Madzhab

MadzhabBoleh Uang?Ukuran Sha’Bentuk Zakat yang Sah
Maliki❌ Tidak boleh± 2,50-2,70 kgMakanan pokok
Syafi’i❌ Tidak boleh± 2,70-3,10 kgMakanan pokok
Hanbali❌ Tidak boleh± 2,75-3,25 kgMakanan pokok
Hanafi✅ Boleh± 3,80 kg (nilai setara)Makanan atau uang

📝 Penutup

Dalam pelaksanaan zakat fitrah, penting bagi setiap Muslim untuk memahami pendapat madzhab yang diikutinya dan memastikan zakat ditunaikan sesuai dengan tuntunan syariat. Jika mengikuti tiga madzhab (Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), maka zakat fitrah wajib diberikan dalam bentuk makanan pokok, dan tidak sah jika dibayar dengan uang.

Namun, jika memilih membayar dengan uang, maka hendaknya mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang membolehkannya, dengan syarat bahwa nilai yang diberikan setara dengan 1 sha’, yang menurut beliau yaitu sekitar 3,8 kg makanan pokok. Jangan hanya mengikuti nominal umum yang beredar, tetapi pastikan perhitungannya tepat dan sesuai ketentuan. Karena taqlid adalah solusi atas permasalahan, bukan sekadar untuk memilih yang paling mudah atau ‘yang enak-enak saja’.


📌 Ilustrasi Logika:

Bayangkan Anda ingin pergi dari Dusun Dono Mulyo ke Pasar Bandar Jaya, dan ada dua angkot yang bisa mengantar:

  1. 🚐 Milik Joko – hanya menerima pembayaran dengan 3 kg beras, dan tidak menerima uang sama sekali.

  2. 🚐 Milik Budi – menerima pembayaran dengan beras atau uang, namun keduanya harus senilai 3,8 kg beras.

❓ Jika Anda ingin membayar dengan uang, tentu Anda harus naik angkot milik Budi, dan membayar sesuai tarif yang ia tetapkan, bukan ikut-ikutan tarif Joko.

Begitu juga dalam zakat fitrah — jika memilih beras, ikuti ketentuan madzhab yang mewajibkan makanan sesuai dengan yang Anda ikuti. Tapi jika memilih uang, pastikan untuk berniat Taqlid mengikuti madzhab hanafi yang membolehkan, dengan syarat dan ukuran yang benar. dilakukan secara kaffah (sempurna).


🔸 Solusi Lain: Menyediakan Beras untuk Dijual kepada Muzakki (yang hanya membawa Uang)

Jadi jika kita pengikut madzhab Syafi’i, harus membayar dalam bentuk makanan pokok. Namun, jika memaksakan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang karena malas repot atau karena hal lainnya, kita harus bertaqlid kepada Imam Hanafi dan nilainya harus disesuaikan dengan pendapat ulama Hanafiyah.

Namun, ada solusi lain yang bisa diambil, yaitu pihak panitia atau amil zakat dapat menyediakan beras untuk dijual kepada para muzakki. Mengenai hal ini, amil sebagai salah satu mustahiq zakat, jika merujuk pada pengertian mustahiq itu sendiri, tentu boleh menjual beras yang telah diterima dari muzakki lain.

Rujukan Kitab:

  • Dalam Fathul Mu'in  - Karya Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibar (Halaman 118-120), Fathul Mu'in (kitab fiqh yang sangat dihormati dalam madzhab Syafi’i), "amil zakat memiliki hak untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya dengan cara yang mendatangkan kemaslahatan". Dalam hal ini, memungkinkan amil untuk menjual beras yang diterima agar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan muzakki yang hanya membawa uang.

  • Dalam Fathul Qorib - Karya Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi (Halaman 45-50) Adapun dalam Fathul Qorib (kitab fiqh yang juga menjadi referensi bagi pengikut madzhab Syafi’i), ditegaskan bahwa "zakat fitrah seharusnya diterima dalam bentuk makanan pokok, dan amil boleh menyediakan beras untuk keperluan tersebut jika ada muzakki yang tidak dapat menyediakan beras". Ini menjadi solusi yang sah agar zakat tetap sampai pada penerima yang berhak, sementara prosesnya bisa lebih fleksibel sesuai kondisi masyarakat.

  • Dalam Al-Mabsuth Karya Imam as-Sarakhsi Juz 3 Halaman 107, disebutkan bahwa amil boleh mengambil zakat untuk disalurkan, bahkan dalam beberapa kasus dapat menggunakan zakat tersebut untuk keperluan pribadi atau jual beli jika dibutuhkan.

  • Al-Bada’i’ al-Sana’i Karya Al-Kasani Juz 2 Halaman 74 juga menyebutkan bahwa amil sebagai salah satu mustahiq dapat menggunakan zakat untuk keperluan yang sesuai dengan kemaslahatan umum, termasuk menjual beras yang diterima dan menggunakan hasilnya untuk kebutuhan umat.

  • Tindakan untuk Kemaslahatan Umum
    Selain itu, dalam Fathul Mu'in juga disebutkan bahwa amil zakat, sebagai salah satu pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq), dapat menggunakan hasil zakat untuk membeli barang atau jasa yang dibutuhkan umat, seperti beras atau keperluan operasional pelaksanaan Zakat. Dengan demikian, langkah ini tidak hanya mempermudah distribusi zakat, tetapi juga memastikan bahwa zakat tetap memenuhi tujuannya: untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin dalam bentuk yang sah dan sesuai dengan syariat.

    Dengan solusi ini, baik para muzakki yang ingin membayar zakat fitrah dengan uang, maupun panitia dan amil zakat yang ingin memfasilitasi pembayaran dalam bentuk uang, bisa menjalankan kewajiban zakat fitrah dengan cara yang lebih praktis namun tetap sesuai dengan tuntunan syariat Islam.


🕌 Bagaimana dengan larangan jual beli di dalam masjid?

Memang terdapat larangan dalam hadits untuk melakukan jual beli di masjid:

“Jika kalian melihat orang berjual beli di dalam masjid, maka katakanlah: ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada perniagaanmu!’”
(HR. Tirmidzi no. 1321, Abu Dawud no. 1089 – Hadits Hasan)

Namun para ulama menjelaskan bahwa larangan ini berlaku pada jual beli yang bersifat duniawi dan komersial, sedangkan jika jual beli dilakukan karena darurat atau kemaslahatan, terutama untuk ibadah, maka diperbolehkan dengan syarat:

Syarat jual beli di area masjid yang diperbolehkan:

  1. Tidak mengganggu kekhusyukan ibadah.

  2. Tidak bersifat komersial jangka panjang.

  3. Tidak menggunakan masjid sebagai tempat tetap usaha.

  4. Dilakukan untuk mendukung kegiatan ibadah (dalam hal ini zakat fitrah).

📚 Rujukan Ulama:
  • Dalam Kitab Al-Majmu’ Juz 4 Halaman 487, Imam Nawawi menjelaskan bahwa jual beli di masjid yang bertujuan maslahat ibadah, seperti menjual mushaf, alat shalat, atau bahkan makanan zakat, boleh dilakukan selama tidak menjadikan masjid sebagai pasar.

  • Dalam Hasyiyah al-Bajuri Juz 1 Halaman 306, diperjelas bahwa larangan jual beli di masjid bukan bersifat mutlak, tapi tergantung pada niat, dampaknya, dan tujuannya.


🕌 Bagaimana Jika Jual Beli Dilakukan di Serambi atau Halaman Masjid?

Melakukan jual beli di serambi masjid atau halaman luar masjid yang tidak digunakan sebagai tempat utama ibadah tidak termasuk dalam larangan jual beli di masjid sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits.

📌 Dalam banyak penjelasan ulama:

  • Serambi, pelataran, atau halaman masjid yang tidak dipakai untuk shalat wajib, tidak mengikuti hukum ruang utama masjid sepenuhnya, apalagi bila secara niat wakaf memang tidak disatukan.

  • Karena itu, aktivitas yang mendukung kemaslahatan umat seperti penjualan beras zakat di area tersebut sah dan tidak tercela, apalagi jika bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi kelancaran ibadah zakat.

📚 Penjelasan Ulama Fiqh Syafi’i:

  • Dalam Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib (Juz 2 Halaman 374), disebutkan bahwa:

    "Yang dimaksud larangan jual beli di masjid adalah di dalam bagian utama masjid yang dijadikan tempat shalat, sedangkan serambi atau pelatarannya tidak termasuk, kecuali jika tempat itu juga disamakan niat wakafnya dengan masjid utama.”

  • Dalam Fatawa Syabramallisiy disebutkan:

    “Tidak termasuk dalam larangan jual beli di masjid, apabila dilakukan di teras atau halaman luar masjid, yang tidak digunakan untuk shalat, dan terlebih jika itu dilakukan karena kemaslahatan umat.”


Kesimpulan Tambahan:

📌 Jual beli beras yang dilakukan di serambi masjid oleh panitia dan amil zakat untuk melayani muzakki adalah diperbolehkan. Maka dari itu, panitia atau amil zakat boleh menjual beras yang diterima dari muzakki lain, untuk kemudian memfasilitasi muzakki yang hanya membawa uang agar tetap dapat menunaikan zakat fitrah dalam bentuk beras, sesuai madzhab Syafi’i:

  • Boleh dilakukan di area sekitar masjid selama tidak merusak kehormatan masjidtidak ramai-ramai seperti pasar, dan tidak untuk bisnis jangka panjang.

  • Tidak termasuk dalam larangan jual beli di masjid. 

  • Diperbolehkan karena dilakukan di luar tempat utama ibadah.

  • Bersifat maslahat dan bukan komersial.

  • Untuk memfasilitasi pelaksanaan zakat fitrah sesuai syariat. Dengan demikian, semua pihak tetap bisa menjalankan syariat zakat fitrah dengan tenang, aman, dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip fiqh yang kuat.

Ini menegaskan bahwa langkah tersebut bukan hanya sah, tapi juga bernilai pelayanan ibadah kepada umat yang ingin menjaga keabsahan zakatnya sesuai madzhab.


Semoga Allah menerima amal ibadah dan zakat kita, serta menjadikan kita hamba-hamba yang peduli kepada sesama.


📚 Rujukan dan Sumber Ilmiah

  • HR. Bukhari no. 1503 
  • HR. Muslim no. 984
  • HR. Tirmidzi no. 1321
  • HR. Abu Dawud no. 1089
  • Al-Mabsuth karya Imam as-Sarakhsi
  • Bada’i’ ash-Shana’i - karya Al-Kasani
  • Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah az-Zuhaili
  • Fathul Mu'in karya Syaikh Zainuddin al-Malibari
  • Fathul Qorib karya Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi
  • Al-Majmu’ karya Imam Nawawi
  • Al-Mughni  karya Ibnu Qudamah
  • Mukhtasar Al-Quduri karya Abu al-Husayn Ahmad ibn Muhammad al-Quduri
  • Kitab Al-Hidayah karya Burhanuddin Al-Marghinani
  • Al-Bahr ar-Ra’iq karya Ibnu Nujaym

Ditulis dan dirangkum oleh :

Muslihun Al Lampani

    LihatTutupKomentar